Jumat, 21 Agustus 2009

Zionisme – Yahudi

Assalamu’alaykum warahatullahi wabarakatuh,

Pak Rizki, saya dan teman-teman sering sekali mendengar istilah “Zionis-Yahudi” yang dikaitkan dengan segala tindak-tanduk kaum Yahudi di Palestina dan juga dunia, terutama Barat. Sebenarnya Zionis-Yahudi itu apa sih? Apakah gerakan politik, atau gerakan agama Yahudi? Asal muasalnya gimana sih pak? Itu saja.

Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

NN
Jawaban

Wa’alaykumussalam warahmatulahi wabarakatuh,

Saudara NN yang dirahmati Allah SWT, Zionisme awalnya merupakan gerakan politik Yahudi sekuler yang menginginkan berdirinya negara Yahudi di atas bukit Zion di Palestina dan sekitarnya. Gerakan ini dilatarbelakangi klaim sepihak Yahudi atas Palestina seperti yang tercantum ada kitab iblis Talmud dan kemudian diperkuat oleh ribuan catatan kaki yang memenuhi Injil Scofield dan Injil versi King James yang awalnya banyak dipakai orang Barat. Injil Scofield inilah yang melahirkan kelompok Judeo-Christian, sebuah kelompok Kristen yang mendukung Zionisme.

Zion merupakan nama sebuah bukit yang terletk di barat day Al-Quds (Yerusalem). Kaum Yahudi percaya, pada lokasi tersebut, King Solomon (Nabi Sulaiman a.s.) pernah membangun istananya (haikalnya) dan menyimpan banyak harta karun di bawah tanah tersebut. Harta tersebut bukan hanya banyak sekali, namun memiliki daya magis yang sangat besar sehingga mereka percaya akan bisa menjadi pemimpin dunia jika memilikinya.

Tepat di hari jatuhnya Yerusalem, Godfroy de Bouillon mendirikan Ordo Sion yang kemudian melahirkan Ordo militer Ksatria Templar. Semua ini balik ke Eropa setelah berhasil dikalahkan Shalahudin Al-Ayyubi (1187). Di Eropa, mereka ditumpas King Philip Le Bell dan Paus Clement pada 13 Oktober 1307.

Dua peneliti Inggris, Knight dan Lomas, di dalam bukunya “The Hiram Key” menulis bahwa mereka telah menemukan sisa-sisa penggalian yang dilakukan Templar di salah satu bagian tanah yang masih masuk dalam markasnya. Apa yang dilakukan para Templar ini terus berjalan selama berabad-abad hingga sekarang, di mana kaum Zionis-Yahudi terus melakukan penggalian di lokasi tersebut.

Seiring dengan perjalanan waktu, istilah ‘Zion’ tidak lagi menjadi nama tempat, namun juga sebuah nama gerakan bagi orang-orang Yahudi Sekuler untuk mendirikan satu negara di Tanah Palestina dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Nathan Bernbaum merupakan tokoh Zionis-Yahudi pertama yang ‘menyeret’ istilah yang pada awalnya netral ini menjadi begitu politis. Pada 1 Mei 1776 Nathan mencetuskan Zionisme sebagai gerakan politik bangsa Yahudi untuk mendiami kembali tanah Palestina. Gagasan Bernbaum didukung sejumlah tokoh Yahudi. Salah seorang tokohnya bernama Yahuda Kalaj yang melemparkan gagasan mendirikan ‘negara Israel’ di tanah Palestina. Dalam bukunya berjudul “Derishat Zion” (1826), Izvi Hirsch Kalischer dengan getol mendukung Yahuda Kalaj dan memaparkan kemungkinan-kemungkinannya.

Ide berawal dari Nathan Bernbaum ini kemudian terus dimasak oleh tokoh-tokoh Yahudi sehingga menjadi rencana aksi yang matang. Seorang Yahudi Jerman bernama Moses Hess, menyatakan jika untuk menguasai Palestina, maka kaum Yahudi harus menggandeng orang-orang Barat dan mempengaruhi mereka untuk mau kembali ke Palestina setelah kekalahan yang memalukan dari umat Islam yang dipimpin Salahuddin Al-Ayyubi beberapa abad silam. Gagasan tokoh Yahudi ini akhirnya mendapat dukungan dari sejumlah tokoh kolonialis Barat merasa memiliki irisan kepentingan yang sama, yakni untuk menguasai wilayah Arab yang kaya.

Sejak itu maka mulailah orang-orang Yahudi mengalir ke Palestina dan daerah sekitarnya. Apalagi keberadaan orang Yahudi di Eropa sesungguhnya tidak disukai oleh orang-orang Kristen. Pada 1891 sejumlah pengusaha Palestina dengan nada prihatin mengirim telegram ke Istambul, ibukota kekhalifahan Turki Utsmaniyah di mana kala itu Tanah palestina merupakan bagian dari kekuasaannya. Dengan penuh nada cemas, para pengusaha Palestina menyatakan imigrasi orang-orang Yahudi ke wilayahnya akan benar-benar jadi ancaman jika tidak dihentikan dengan segera.

Lima tahun kemudian, terbit buku “Der Judenstaat” (1896) yang ditulis seorang wartawan Yahudi-Austria bernama Theodore Hertzl. Buku itu secara detil mengajukan konsep tentang upaya pendirian ‘negara Israel’ di Palestina. Hertzl akhirnya dinobatkan sebagai ‘Bapak Zionisme Modern’. Strategi perjuangan Yahudi, oleh Hertzl, secara singkat bisa diungkapkan dalam sebuah kalimat yang singkat namun penuh arti: “Bila kita tenggelam, kita akan menjadi suatu kelas proletariat revolusioner, pemanggul ide dari suatu partai revolusioner; bila kita bangkit, dipastikan akan bangkit juga kekuasaan keuangan kita yang dahsyat.” Sebuah kalimat yang memiliki arti sangat dalam dan sungguh-sungguh dijalankan oleh gerakan Zionisme, karena gerakan inilah yang kemudian melahirkan ide komunisme yang menyatakan sebagai pejuang garda terdepan dalam membebaskan proletariat, dan juga kapitalisme yang merupakan negasi dari ide komunisme. Dan kaum Zionis mengambil keuntungan dari pergolakan kedua kutub tersebut.

Dalam bukunya Hertzl tanpa sungkan menegaskan bahwa untuk mewujudkan satu negara Yahudi di atas tanah Palestina, maka mustahil dengan cara-cara demokratis. Bahkan Hertzl memberikan resep jitu agar Tanah Palestina bisa dikuasai Yahudi yakni dengan jalan memenuhi tanah Palestina dengan orang Yahudi sehingga Yahudi menjadi mayoritas. Untuk memperkecil populasi orang Palestina maka segala cara harus dilakukan seperti teror, perang, pembersihan etnis, penyebaran penyakit, pembukaan lahan kerja di negara tetangga, dan sebagainya. Agar segala yang dilakukan gerakan Zionisme bisa diterima oleh dunia internasional, maka tokoh-tokoh Yahudi seluruh dunia harus bisa memaksakan dunia internasional untuk mensahkan satu undang-undang yang melegitimasi eksistensi Yahudi di Palestina.

Dalam bukunya Hertzl menulis, “Kami akan mengeluarkan kaum tidak berduit (maksudnya bangsa Palestina) dari perbatasan dengan cara membuka lahan-lahan pekerjaan di negara-negara tetangga, dan bersamaan dengan itu mencegah mereka memperoleh pekerjaan di negeri kami. Kedua proses itu harus dilakukan secara rahasia.”

Gerakan ini mengadakan kampanye ke seluruh dunia. Kaum Yahudi mencetak buku-buku yang kelihatannya ilmiah yang menyatakan jika sebenarnya Tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan kepada bangsa Yahudi. Buku-buku ini disebar ke seluruh negeri. Bahkan kitab suci orang Kristen pun diberi catatan kaki yang banyak yang seluruhnya menjadikan ayat-ayat Injil sebagai dukungan bagi berdirinya negara Israel di Palestina. Scofield adalah orang yang ditugaskan untuk memberi ribuan catatan kaki pro-Zionistik di dalam Injil versi James yang menjadi Injilnya orang-orang Barat. Berbagai kelompok kajian alkitab disusupi dan menjadikan orang-orang Eropa yang tadinya memusuhi Yahudi menjadi kini banyak yang menjadi pendukung negara Israel.

Di dalam masa-masa itulah Hertzl menemui Sultan Abdul Hamid II sebagai Khalifah dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah (1876-1909). Dengan segala bujuk rayu, Hertzl berusaha agar Sultan mengizinkan oarng-orang Yahudi mendirikan negara Israel di Palestina. Jika Sultan bersedia, maka para pemilik modal Yahudi di seluruh Eropa akan memulihkan kas keuangan Turki Utsmani yang sedang kosong. Namun Sultan menolak mentah-mentah hal ini sehingga Zionis-Yahudi menghancurkan Turki Utsmaniyah lewat seorang agen Yahudi dari Tsalonika bernama Mustafa Kamal Pasha.

Hertzl menggelar Kongres Zionis Internasional I di Swiss sebagai upaya penyatuan sikap tokoh Zionis Dunia. Salah satu hasil kongres berbunyi: “Zionisme bertujuan untuk membangun sebuah Tanah Air bagi kaum Yahudi di Palestina yang dilindungi oleh undang-undang.” Theodore Hertzl terpilih sebagai pimpinan gerakan ini dan menulis dalam buku hariannya, “Kalau saya harus menyimpulkan apa hasil dari kongres Bassel itu dalam satu kalimat pendek, yang sungguh tidak berani saya ungkapkan kepada masyarakat, saya akan berkata: ‘Di Bassel saya menciptakan negara Yahudi!’” Protocolat of Zion yang berisi 24 strategi Zionis-Yahudi menguasai dunia juga disahkan menjadi agenda bersama.

Selain menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmani, Yahudi Internasional juga bekerja siang-malam mempersiapkan segala hal untuk bisa mewujudkan cita-citanya. Pada 2 November 1917, Menlu Inggris, Lord Arthur James Balfour, mengirim sebuah surat yang ditujukan kepada Pemimpin Komunitas Yahudi Inggris, Rothschild, untuk diteruskan kepada Federasi Zionis, yang berisi pemberitahuan tentang persetujuan pemerintahan Inggris yang telah menggelar rapat Kabinet tanggal 31 Oktober 1917, atas permintaan bangsa Yahudi untuk bisa mendapatkan tanah Palestina. Saat itu, sebagian terbesar wilayah Palestina masih berada di bawah Khilafah Turki Utsmani, hanya saja kekhalifahan ini sudah diambang kehancuran. Batas-batas yang akan menjadi wilayah Palestina telah dibuat sebagai bagian dari Persetujuan Sykes-Picot, 16 Mei 1916, antara Inggris dan Prancis.

Kata-kata Deklarasi ini kemudian digabungkan ke dalam perjanjian damai Sèvres dengan Turki Utsmani dan Mandat untuk Palestina. Penyebutan Palestina sebagai satu-satunya nominator tempat berdirinya negara Yahudi sebenarnya memiliki catatan yang panjang. Awalnya ada sejumlah tempat yang dianggap bisa menjadi tempat berdirinya negara Yahudi di Afrika dan Amerika Selatan, seperti Mozambique, Kongo, Afrika, Uganda, bahkan Argentina dicalonkan pada 1897, Cyprus pada 1901, Sinai pada 1902, dan atas usulan pemerintahan Inggris, Uganda diusulkan kembali pada 1903.

Penyebutan tempat-tempat tersebut mendapat tentangan keras dari para Rabbi Yahudi Konservatif. Apa yang digalang oleh Hertzl dan kelompok Zionisnya dianggap sebagai gerakan sekularis yang menunggangi agama Yahudi. Bahkan dalam Kongres Para Rabbi di Philadelphia-AS, pada akhir abad ke-19, salah satu putusannya adalah menentang adanya satu negara Yahudi yang dipaksakan. Menurut kelompok Rabbi Konservatif ini, Zionisme merupakan gerakan sekuler yang berlandaskan Talmud, sebuah kitab iblis, dan bukan Taurat Musa. Bagi para Rabbi, negara Yahudi akan didirikan pada akhir zaman, yakni ketika Sang Messias Yahudi muncul dan memimpin orang-orang Yahudi untuk mendirikan negaranya di Palestina. Bagi kalangan Zionis, berdirinya negara Yahudi tidak harus menunggu kedatangan Messias di akhir zaman, hal ini malah harus dilakukan secepatnya guna menyambut datangnya Messias. Inilah titik tolak perbedaan pandangan antara Yahudi Zionis dengan Yahudi Anti Zionis yang sekarang ini salah satu kelompoknya adalah Neturei Karta dan juga International Jews Anti Zionist (IJAN).

Dr. Chaim Weizmann, jurubicara organisasi Zionisme di Inggris dan pendukung utama Zionisme merupakan seorang pakar kimia yang berhasil mensintesiskan aseton melalui fermentasi. Aseton diperlukan dalam menghasilkan cordite, bahan eksplosif yang sangat berguna dalam semua persenjataan Inggris. Jerman diketahui telah memonopoli ramuan aseton kunci, kalsium asetat. Tanpa kalsium asetat, Inggris tak bisa menciptakan aseton dan tanpa aseton takkan ada cordite. Jadi, tanpa cordite, Inggris saat itu mungkin akan kalah dalam Perang Dunia I. Sebab itu, Inggris sangat berhutang budi pada Yahudi, khususnya kepada Weismann. Inilah mengapa Inggris begitu mendukung kaum Yahudi untuk mendirikan negara di Palestina.

Pada 14 Mei 1948 Israel sebagai sebuah negara dideklarasikan dan David Ben Gurion diangkat sebagai PM pertama. PBB mensahkan negara Israel. Langkah PBB ini membuktikan kepada dunia jika lembaga internasional tersebut mendukung penjajahan bangsa Palestina yang dilakukan oleh Zionis Israel. Berdirinya Israel didahului upaya teror, pembunuhan, dan pengusiran terhadap bangsa Palestina, pemilik sah atas Tanah Suci tersebut.

Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

(era/berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar